Setelah 34 bulan merantau di Swedia, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk pulang kampung. Sebenernya keputusan pulang ini juga agak mendadak dikarenakan sedang ada diskon tiket pesawat besar-besaran dan juga ingin sekali menghadiri pernikahannya Ivi.
17 Juni lalu, saya pulang ke Indonesia. Proses kepulangan di tengah pandemi memang memeningkan kepala. Disamping harus menyiapkan bukti negative test PCR, kita juga harus membuang waktu (+uang) untuk karantina. Ternyata aturan official terbaru tentang persyaratan masuk Indonesia agak sulit ditemukan di website pemerintahan. Saya sendiri akhirnya mengandalkan panduan lengkap yang tertulis di website KBRI Singapore. Guideline yang cukup lengkap menyajikan apa saja dokumen yang diperlukan termasuk list hotel yang menerima karantina.
Sebenarnya ada dua opsi tempat karantina untuk warga negara Indonesia yang kembali ke Indonesia: Wisma atlet (free) & hotel terpilih (expensive). Tidak semua orang dari luar negeri bisa tinggal di wisma atlet, hanya pelajar dan pekerja. Keluarga saya sendiri tidak menyarankan untuk tinggal di wisma atlet dikarenakan prokes yang sangat tidak jelas. Dimana orang-orang masih bisa keluar kamar berkeliaran kesana kemari. Tentunya peluang terinfeksi covid-19 lebih tinggi dibandingkan di hotel yang melarang kita untuk keluar sama sekali. Ditambah lagi, teman saya malah dipalak oleh TNI yang jagain wisma atlet 😦 Karena kesehatan adalah hal terpenting, akhirnya saya memutuskan untuk karantina di hotel saja. Meskipun pricey, at least less risk. Saya membayar sebesar 5.8 juta untuk paket hotel + breakfast + 2x PCR untuk 5 hari di Grand Mercure Gatsu.

Sebenarnya, mencari list hotel ini cukup gampang, tinggal di gooling. Pasti ada aja artikel di media massa yang memberikan list hotel beserta kontaknya. Kebetulan waktu itu teman saya yang baru saja selesai kuliah dari Australia membagikan pengalamannya karantina di Grand Mercure Gatsu di instagram. Proses bookingnya sangat gampang, tinggal whatsapp (+62 811-1816-587). Tanpa pikir panjang akhirnya saya juga memesan hotel yang sama. Lagian lokasinya sangat strategis dekat dengan kosan Rindy/Felix. Seandainya semua atm saya ga bisa berfungsi karena lupa pin/expired, setidaknya saya ada teman buat minjem duit cash :v
Pihak hotel menjemput saya di bandara. Di bandara sendiri ada TNI yang mengawasi, bahkan kita difoto dengan driver yang menjemput kita. Sesampainya di hotel, ternyata pembayaran bisa dilakukan via transfer. Tentu saja saya tak harus menelpon Rindy untuk meminjam uang cash karena benar saja, ATM saya tidak berfungsi karena salah pin ketika mencobanya di bandara.
Menurut saya, resepsionis yang melayani saya saat itu agak kurang professional. Saya telah berada di depannya beberapa saat dan dia masih saja sibuk mengurus sesuatu tanpa menyapa terlebih dahulu atau meminta untuk menunggu. Saya juga tidak diberikan kamar dengan double bed dengan alasan sudah habis. Akhirnya saya menerima saja apa adanya. Setelah nyampe di kamar yang diberikan, bau rokok yang menyengat tertinggal di seluruh ruangan. Maklum saja, karena kamar ini sama sekali tidak memiliki jendela atau balkon karena untuk karantina. Ketika saya protes, si cleaning service yang kebetulan membersihkan kamar di depan saya malah menyuruh menyemprot saja dengan parfum -.-
Akhirnya saya kembali ke lobby untuk tukar kamar. Dengan resepsionis yang memberikan saya kamar. Dia beruajar “masa sih bau rokok, ga mungkin”. Sungguh mengesalkan. Roomboy yg mengantarkan barang-barang saya juga membantu saya memberi kesaksian. Kemudian saya diberikan kamar pengganti di lantai 19. Yang uniknya, ini double bed room (bukannya katanya abis?). Berarti si resepsionis ini berbohong ketika menolak permintaan saya saat checkin.
Dari hari pertama saja, experience saya dengan hotel ini cukup buruk. Makanan di hotel ini jg B saja. Sampai males untuk memfotonya. Tidak sesuai dengan ekspektasi yang saya harapkan sebagai orang yang sangat rindu mencicipi masakan Indonesia. Rasa masakan ini 11-12 sama masakan yang saya bikin pake bumbu jadi. Beruntung saya hanya mengambil paket breakfast saja. Kecewanya ga double.



Hal pertama yang seharusnya dilakukan setelah di hotel adalah test PCR. Di awal, saya tidak dikabarkan kapan harus PCR. Setau saya PCR dilakukan di hari pertama kedatangan dan petugas lah yang datang ke kamar. Tetapi sudah pukul 8 malam, tidak ada tanda-tanda. Akhirnya, setelah menelpon pihak resepsionis, ternyata saya harus ke lantai 7 sendiri menemui petugas PCR. Artinya, aturan prokes ketatnya hanya tertulis saja.
Selain makanan dan test PCR, hal yang tidak mengenakkan lagi adalah bisingnya suara dari luar. Meski di lantai 19, suara kendaraan terdengar sangat jelas. Mungkin jg ini trade-off untuk sebuah view yang bagus. Akan tetapi, masa iya sound-proof hotel sebegitu jeleknya tidak diperbaiki. Bukannya fungsi utama hotel adalah buat tidur?
Yang terakhir adalah soal keamanan paket. Di hari ke 2 di hotel, saya memesan sim card Indo dari Tokopedia. Akan sangat sulit sekali untuk bepergian tanpa sim card Indo. Menurut tracking, sebenarnya paket saya sudah sampai keesokannya. Dikarenakan tidak boleh keluar kamar, saya menulis pesan untuk dititipkan ke resepsionis saja. Pihak resepsionis mengaku tidak menerima sama sekali. Meskipun harganya hanya 20 ribu rupiah, tapi cukup mengecewakan karena saya sudah menunggu beberapa hari. Saya harus memutar otak bagaimana membeli sim card tanpa memiliki nomor hp yang aktif. Dan ternyata Grab bisa diregistrasi dengan nomor luar negeri (Yaiyalah, appnya punya malaysia :D). Komunikasi dengan driver-pun jg bisa call via aplikasi tanpa harus mengandalkan nomor hp. Fitur yang harus ditiru ojek online lain nih. Hanya cukup internet, saya berhasil sampai ke Mall Ambassador untuk membeli kartu pra bayar. Setelah saya nyampe Bukittinggi, pihak hotel baru mengabarkan menemukan paket saya yang terselip.
FYI: Hotel ini membuat larangan untuk memberikan review buruk tentang hotel ini di media sosial manapun. Anti kritik.
Self lesson learned: Sebaiknya tidak memesan hotel yang terlalu dekat jalan raya 🙂